Dalam tubuh Republik ini, ada retakan yang tak lagi bisa disembunyikan oleh defisit yang terkendali atau laporan APBN yang tampak sempurna. Retakan itu kini semakin terasa. Pada hari Selasa (8/9/2025) Sri Mulyani Indrawati: simbol kredibilitas fiskal Indonesia sekaligus wajah penjaga keuangan negara selama bertahun-tahun, kini harus menanggalkan jabatannya. Kita tidak hanya menyaksikan sebuah perubahan kabinet. Ini adalah alarm yang menggema, bahwa kerentanan negara ini telah memasuki fase yang lebih serius.
Keberhasilan fiskal yang selama ini menjadi kebanggaan, defisit 2,30% dari PDB di tahun 2024, penerimaan pajak yang stabil, serta kepercayaan investor dan pasar global: seketika runtuh. Kepercayaan publik terguncang, terutama setelah laporan APBN bulanan yang tidak jelas dan molor tanpa kepastian atau klarifikasi.
Situasi ini semakin diperburuk dengan terjadinya aksi amuk massa yang terjadi di rumah seorang Menteri Keuangan Negara pada Minggu (31/8/2025) sekitar jam 02.00 WIB. Ini adalah bukti nyata bahwa stabilitas angka ekonomi tidak berarti apa-apa jika negara gagal melindungi dan menjaga rasa aman para pelayan publiknya.Peristiwa ini menyiratkan pesan tegas. Bahwa negara ini tidak hanya perlu mencatatkan angka defisit yang baik, tetapi juga harus melindungi para pelayan negara yang menjaga fondasi tersebut. Ketika Sri Mulyani, seorang tokoh yang telah memegang posisi strategis dengan segala kapasitasnya, tak lagi merasa aman dalam menjalankan tugasnya. Maka yang perlu kita pikirkan adalah, bagaimana dengan rakyat biasa? Rakyat yang setiap hari harus mengetuk pintu birokrasi berulang kali, hanya untuk sebuah hak yang mestinya sederhana.
Kepergian Sri Mulyani membuka ruang bagi orientasi fiskal baru. Dari pola konservatif dengan disiplin anggaran, arah kebijakan diperkirakan lebih ekspansif dan pro-pertumbuhan. Tantangannya, menjaga agar transisi tidak mengganggu stabilitas makroekonomi maupun kredibilitas fiskal di mata dunia, sebab tanpa kehati-hatian, perubahan ini berisiko menciptakan ketidakpastian dan melemahkan fondasi pembangunan jangka panjang.
Kini, kursi Menteri Keuangan diisi oleh Purbaya Yudhi Sadewa, yang sudah resmi digantikan sejak (9/9/25). Apakah ia mampu menjaga stabilitas fiskal yang telah dibangun selama ini? Mungkin. Tetapi hal yang lebih penting adalah bagaimana sistem yang ada akan mendukungnya. Perlindungan terhadap pejabat publik yang menjalankan amanah negara harus lebih kuat, karena tanpa itu, bukan tidak mungkin ia akan terjebak dalam tekanan politik dan kemarahan sosial yang menggerus fondasi kebijakan yang telah ada.
Kepergian Sri Mulyani menjadi refleksi bahwa pengelolaan fiskal bukan sekadar defisit terkendali, melainkan juga kepercayaan rakyat dan perlindungan bagi pelayan negara. Sesuai teori good governance (World Bank, 1992), transparansi, akuntabilitas, dan keberlanjutan adalah prinsip utama agar keuangan negara tidak hanya menjaga angka, tetapi benar-benar meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Kepergiannya adalah tamparan keras bahwa stabilitas ekonomi tanpa perlindungan terhadap manusia hanyalah ilusi. Tanpa keberanian politik dan penghormatan pada penjaga negara, stabilitas hanyalah angka rapuh di atas luka yang kian menganga.