Setiap tanggal 21 April, kita memperingati Hari Kartini—hari yang bukan sekadar mengenang sosok perempuan bangsawan yang menulis surat-surat panjang tentang emansipasi, tapi juga momen untuk merenungkan sejauh mana semangatnya masih hidup hari ini. Sebagai mahasiswa dan bagian dari generasi muda, saya merasa Kartini bukan hanya bagian dari sejarah, tapi juga semacam “ruh perjuangan” yang tetap menginspirasi di tengah berbagai tantangan baru yang dihadapi perempuan masa kini.
Dulu, Kartini berjuang di tengah budaya patriarki yang sangat kental. Ia tidak bisa bebas sekolah, dipingit, dan dibatasi hanya karena lahir sebagai perempuan. Tapi justru dari keterbatasan itulah, ia melawan. Ia menulis, bersuara, dan bermimpi tentang dunia di mana perempuan bisa belajar, berpikir, dan menentukan jalan hidupnya sendiri. Perjuangannya mungkin lahir di masa lampau, tapi nilai-nilainya tetap relevan dan menyala hingga kini. Semangat semacam itulah yang seharusnya terus tumbuh dan berkembang hingga hari ini.
Tentu, konteks zaman sudah sangat berbeda. Kita hidup di era teknologi, ketika perempuan bisa kuliah, bekerja, bahkan memimpin. Tapi, bukan berarti perjuangan Kartini sudah selesai. Bentuk ketidakadilan itu berganti rupa—ada di tempat kerja, di ruang publik, bahkan di dunia digital. Perempuan masih sering dihakimi hanya karena pilihan hidupnya, penampilannya, atau keberaniannya bersuara. Ruang-ruang yang harusnya aman pun kadang menjadi tempat yang penuh tekanan dan penghakiman.
Sebagai generasi muda, saya melihat banyak teman perempuan yang tidak tinggal diam. Mereka bersuara lewat media sosial, menulis opini, membuat video edukatif, hingga membentuk komunitas untuk saling mendukung. Di Instagram, TikTok, bahkan Twitter, perempuan mulai terbiasa berbagi pengalaman dan mengangkat isu-isu yang dulu sering dianggap tabu. Mereka bicara soal kesehatan mental, kekerasan seksual, hak tubuh, sampai stereotip gender yang masih banyak ditemui sehari-hari.
Menurut saya, inilah wajah Kartini modern—perempuan yang tidak hanya diam atau menerima keadaan, tapi memilih untuk aktif dan peduli. Perempuan yang sadar bahwa suaranya penting, dan keberadaannya layak untuk dihargai tanpa syarat. Mereka tidak harus menjadi tokoh besar untuk disebut inspiratif. Justru dari tindakan-tindakan kecil seperti saling mendukung, menolak diam saat melihat ketidakadilan, atau sekadar mengedukasi lewat tulisan atau obrolan santai, itulah bentuk perjuangan yang nyata dan bermakna.
Kartini modern juga bukan hanya perempuan yang tampil vokal di depan layar. Ia bisa saja ibu rumah tangga yang mendidik anak-anaknya dengan nilai kesetaraan. Atau mahasiswi yang memilih untuk mengambil jurusan teknik meski dianggap “bukan bidang perempuan”. Atau teman kita yang diam-diam sedang menyusun rencana untuk memberdayakan perempuan-perempuan di kampung halamannya agar lebih mandiri dan percaya diri.
Saya percaya, memperingati Hari Kartini bukan hanya soal mengenakan kebaya atau mengikuti lomba bertema perempuan. Tapi lebih dari itu, ini soal menyalakan kembali semangat untuk terus bergerak, berpikir kritis, dan menjaga agar perempuan punya tempat yang aman dan setara di mana pun mereka berada.
Karena semangat Kartini tidak pernah mati. Ia tumbuh di setiap langkah perempuan yang memilih untuk melawan ketidakadilan, sekecil apa pun bentuknya. Selama perempuan masih berani menyuarakan kebenaran dan saling mendukung, perjuangan Kartini akan terus berlanjut, membimbing kita untuk membangun masa depan yang lebih adil dan setara.
Mari kita terus menyalakan api semangat Kartini dalam setiap langkah, keputusan, dan suara yang kita perjuangkan.
Selamat Hari Kartini untuk seluruh perempuan Indonesia—teruslah bersinar, bersuara, dan membawa perubahan.
Penulis: Alya Zahirah
Prodi: Ilmu Pemerintahan (2023)