Pernah mendengar filosofi tentang tanaman Lotus? Konon katanya ia ialah bunga yang tumbuh dari lumpur kotor, lalu mekar di atas perairan yang jernih. Jejak takdir yang ia hadapi seolah hadir, menjelma ke dalam sosok yang dikenal sebagai perempuan. Sampai hari ini, perempuan tumbuh di dunia yang membenci mereka. Dunia yang membuka lebar pintu ketidakadilan, dan di saat yang sama membungkam jeritan perlawanan yang senantiasa dilontarkan. Bahwa, menjadi perempuan di hari ini layaknya dosa yang tak terampuni.
Dan segala penderitaan yang ada masih belum cukup, menjadi perempuan di hari ini pun memiliki arti bahwa kita, perempuan, telah terperosok jauh ke dalam arena pertarungan. Melawan sistem yang dibentuk oleh orang-orang yang mengaku sebagai ksatria berbaju zirah, yang berkata semua demi kebaikan. Sebuah dusta, karena nyatanya perempuan hanyalah martir yang dikorbankan. Diinjak demi kenyamanan. Dicekik oleh nafsu kekuasaan.
Ada pula cerita, berasal dari suatu negeri nun jauh di sana, disebutkan bahwa ada sesosok simbol perjuangan, Kartini namanya. Seorang pahlawan. Perempuan. Sang pendobrak batas kelaziman di zamannya. Namun, kabarnya, di negeri itu pula orang-orang seperti ia, masih dianggap tak lebih dari warga kelas dua. Yang suaranya tidak didengar. Yang perlawanannya dikerdilkan.
Bisa dibilang negeri itu belum benar-benar merdeka. Tapi Kartini, ia tak pernah menunggu zaman yang ideal untuk bersuara. Jika dulu Kartini menulis tentang keterbatasan perempuan dalam pendidikan. Hari ini, keterbatasan kita selaku perempuan bukan hanya soal akses ilmu, tapi akses pada keadilan. Kartini juga pernah menulis, “Habis gelap, terbitlah terang.” Tapi nyatanya, untuk banyak perempuan di hari ini, gelap itu masih melingkupi, menutup langit harapan. Kalaupun ada secercah Cahaya terang, perempuan itu sendirilah yang harus menyalakannya.
Kartini modern bukan sekadar perempuan yang berpendidikan tinggi. Ia adalah mereka yang berani melawan kebisuan. Yang memilih untuk menggugat, bahkan ketika akhirnya menemui kegagalan. Ia hidup di tubuh ibu rumah tangga yang melaporkan suaminya karena kekerasan. Ia hidup di suara perempuan melawan kampusnya terkait pelecehan.
Kartini di dalam surat-suratnya menggugat pendidikan, ketidaksetaraan, dan nasib perempuan yang ditentukan oleh orang lain. Tapi lebih dari itu, ia juga sedang melawan dunia yang tak membiarkan perempuan punya ruang untuk memilih. Jika dulu bentuk perlawanan Kartini adalah menulis, maka hari ini perlawanan itu hadir dalam banyak bentuk: perempuan yang berani bicara di ruang publik, yang mengungkap kekerasan, yang memilih tidak menikah, yang memilih tetap bekerja, atau sekadar… memilih menjadi dirinya sendiri.
Di tengah semua itu, perempuan, seperti Kartini tetap berdiri. Tetap menulis. Tetap marah. Tetap menyayangi diri mereka sendiri. Kartini bukan sekadar nama di buku sejarah. Ia adalah nyala kecil yang harus terus hidup di dada perempuan hari ini. Nyala yang kadang lelah, kadang redup, tapi tak pernah padam.
Karena di dunia yang membenci perempuan, menjadi diri sendiri, seorang perempuan, adalah bentuk perlawanan yang paling radikal. Layaknya lotus yang tetap berjuang meski lahir dari lumpur yang mungkin berusaha menahannya untuk tumbuh, hingga akhirnya bisa tumbuh dalam kejernihan. Maka kita, perempuan, harus tetap terus berjuang melepaskan diri dari kawat duri yang mengekang, melukai, dan menghambat, hingga akhirnya nanti, mungkin di suatu masa, perempuan dapat benar-benar hidup leluasa, terlahir kembali dalam air yang jernih.
Nama: Lolyta Athaya Meidhina
Prodi: Psikologi (2023)