Setiap bulan April, kita memperingati Hari Kartini sebagai momen refleksi atas perjuangan seorang perempuan luar biasa yang suaranya melampaui zamannya. Raden Ajeng Kartini, dengan pena dan pikirannya, menantang batas-batas tradisi yang mengekang perempuan untuk belajar, berpikir, dan bermimpi. Dalam konteks masa kini, memperingati Kartini bukan hanya soal mengenang masa lalu, tetapi juga membaca ulang semangatnya dalam realitas sosial-politik hari ini. Sebagai mahasiswa Ilmu Pemerintahan, saya memandang bahwa Kartini modern adalah perempuan yang aktif memperjuangkan kesetaraan dalam sistem pemerintahan yang sering kali masih bias gender.
Perempuan Indonesia kini memiliki akses lebih luas dalam pendidikan, karier, dan partisipasi politik. Kita melihat semakin banyak perempuan menduduki posisi strategis: menjadi menteri, kepala daerah, anggota legislatif, bahkan pemimpin gerakan masyarakat sipil. Namun, harus diakui, jumlah bukanlah satu-satunya indikator keberhasilan emansipasi. Masih banyak hambatan struktural yang membuat perempuan kesulitan mendapat ruang yang setara—terutama dalam dunia politik dan pemerintahan.
Sebagai mahasiswa yang belajar tentang sistem kekuasaan, kebijakan publik, dan dinamika kelembagaan, saya menyadari bahwa keberadaan perempuan dalam pemerintahan sering kali belum sepenuhnya mencerminkan inklusivitas. Kuota 30% perempuan dalam parlemen, misalnya, masih lebih sering menjadi alat pencitraan politik daripada ruang aktual untuk memperjuangkan kebijakan responsif gender. Banyak perempuan politisi yang masih dibayangi peran simbolis, bukan sebagai pengambil kebijakan sejati.
Dalam hal ini, Kartini modern bukan hanya perempuan yang berhasil menembus jabatan publik, tetapi juga perempuan yang membawa semangat kritis dan transformatif ke dalam sistem. Ia memahami bahwa representasi politik harus dibarengi dengan keberanian untuk bersuara, menggugat ketidakadilan, dan memperjuangkan kelompok rentan termasuk sesama perempuan yang masih termarjinalkan.
Mahasiswa, khususnya dari Ilmu Pemerintahan, memiliki peran penting dalam mendorong perubahan ini. Kita bukan hanya calon birokrat atau analis kebijakan, tapi juga agen perubahan yang paham akar masalah ketimpangan. Kita bisa menjadi bagian dari gerakan intelektual yang mendorong tata kelola yang lebih adil gender. Kita bisa meneliti, menulis, dan mengadvokasi kebijakan yang inklusif. Dan tentu saja, kita juga bisa menginspirasi sesama mahasiswa untuk melihat bahwa politik bukan dunia milik laki-laki semata.
Di kampus pun, tantangan masih terasa. Perempuan mahasiswa kerap menghadapi stereotip bahwa mereka tidak cocok menjadi pemimpin organisasi, atau bahwa ambisi politik perempuan adalah sesuatu yang “berlebihan”. Di sinilah semangat Kartini harus hadir dalam keberanian perempuan untuk memimpin, untuk bersuara, untuk mengambil peran aktif dalam ruang-ruang yang selama ini didominasi oleh laki-laki.
Kartini modern juga memanfaatkan teknologi sebagai alat perjuangan. Media sosial kini menjadi ruang ekspresi sekaligus arena perjuangan digital. Kita menyaksikan banyak mahasiswa perempuan yang aktif mengedukasi publik, melawan kekerasan berbasis gender, dan membongkar narasi patriarki yang masih kuat di masyarakat. Ini adalah bentuk baru dari pena Kartini, yang dulu menulis surat, kini bersuara lewat thread Twitter, Instagram, hingga podcast.
Namun, perjuangan ini tak boleh dibebankan kepada perempuan saja. Mahasiswa laki-laki pun harus mengambil bagian, menjadi sekutu yang mendukung kesetaraan, bukan pesaing yang merasa tersaingi. Karena feminisme bukan upaya mengangkat perempuan di atas laki-laki, tetapi memperjuangkan keadilan bagi semua.
Sebagai mahasiswa Ilmu Pemerintahan, saya percaya bahwa perubahan struktural dimulai dari keberanian personal. Dari ruang kelas hingga ruang parlemen, dari diskusi kampus hingga forum kebijakan, semangat Kartini harus terus hidup dalam cara kita berpikir, bersikap, dan bertindak.
Kartini modern adalah perempuan yang tidak diam.
Kartini modern adalah mahasiswi yang kritis.
Dan kita semua laki-laki maupun perempuan punya tanggung jawab untuk menjadikan sistem pemerintahan kita lebih adil, inklusif, dan setara.
Penulis : Rossa Tri Rahmawati Bahri
Prodi : Ilmu Pemerintahan (2023)