Bagaimana reaksi kalian jika tahu salah satu kerabat perempuan kalian sudah tidak perawan lagi? Apakah kalian menganggapnya sebagai seorang perempuan yang hina? Perempuan yang kotor? Atau sudah tidak suci lagi? Atau bahkan perempuan yang gagal menjaga kesucian dirinya?
Atas dasar apa kalian menilai seorang perempuan berdasarkan keperawanannya? Hingga di zaman modern sekarang ini, saya masih sering mendengar pernyataan bahwa seorang perempuan itu harus menjaga keperawanannya sebelum akhirnya dia menikah. Jika ia berhasil mempertahankannya, maka ia dianggap sebagai perempuan yang bermoral.
Keperawanan perempuan juga tidak bisa diukur dari ada atau tidak adanya pendarahan pada saat perempuan berhubungan seksual untuk kali pertamanya. Padahal, selaput dara tidak bisa dijadikan alat ukur apakah seorang perempuan pernah melakukan hubungan seksual atau tidak. Terdapat banyak sekali faktor robeknya selaput dara perempuan, entah karena cedera fisik, kecelakaan, korban pelecehan seksual, dan faktor-faktor lainnya. Walaupun jika memang karena si perempuan pernah melakukan hubungan seksual atas kesadaran dirinya sendiri, maka hal itu menjadi hak penuh atas dirinya sendiri. Sebagai outsider, kita tidak berhak melabelinya sebagai seorang perempuan yang kotor.
Menurut saya, rasanya tidak adil jika stigma ini hanya berlaku kepada perempuan saja. Jika skenarionya dibalik, seorang laki-laki yang kehilangan keperjakaannya, ia pastinya akan dianggap sebagai laki-laki ‘jantan’ atau mungkin saja dianggap wajar. Apakah laki-laki itu akan dilabeli sebagai laki-laki yang kotor? Hina? Atau tidak bermoral? Tidak, ‘kan?
Terkadang saya mendengar pernyataan yang keluar dari mulut laki-laki, “Aku nggak akan mau menikah sama seorang perempuan yang sudah tidak perawan”. Bahkan beberapa perempuan juga menyetujui apa yang diungkapkan oleh para laki-laki itu. Laki-laki itu berkata seakan-akan perempuan yang sudah kehilangan keperawanannya tidak berhak mendapatkan hak yang sama seperti perempuan lainnya.
Rasanya sangat tidak adil sekali, mengapa sih masyarakat terutama laki-laki sangat suka ikut campur dalam urusan tubuh seorang perempuan?
Sebagai perempuan, sejak kecil kerap diajarkan untuk menjaga kesucian diri kita, dalam konteks keperawanan yang akhirnya berujung kita tumbuh dengan dihantui oleh rasa takut dalam mengontrol tubuh kita itu sendiri. Selain itu, kita sebagai perempuan juga kerap dihantui oleh perasaan bersalah setiap kali kita membicarakan hal yang berkaitan dengan seksualitas. Juga, kita kerap dibayang-bayangi oleh penilaian buruk atau bahkan dianggap tidak bermoral oleh masyarakat sekitar kita.
Moralitas seharusnya tidak diukur dari keperawanan seseorang, tetapi dari kejujuran, toleransi, keadilan, dan masih banyak hal lain yang bisa dijadikan alat ukur dalam tingkat moralitas seorang perempuan. Dengan menjadikan keperawanan sebagai patokan moralitas seorang perempuan hanya bisa merendahkan dan mengontrol serta membatasi perempuan dalam menentukan pilihan mereka atas tubuh mereka sendiri. Perempuan memiliki hak penuh dalam memutuskan sendiri pilihan hidupnya termasuk juga dalam konteks seks.
Kita sebagai perempuan tidak perlu membuktikan keperawanan kita kepada orang lain, siapapun itu. Sebab, tubuh kita bukanlah alat yang bisa dikendalikan oleh orang lain. Kita tidak perlu takut dengan stigma-stigma buruk tentang keperawanan. Sekarang menjadi saat yang tepat untuk menghapus pandangan kolot tentang virginitas seorang perempuan. Moralitas perempuan seharusnya tidak dikaitkan pada satu aspek biologis. Perempuan memiliki hak yang sama dan setara untuk dihormati serta dihargai untuk menentukan hidupnya.
Momentum Kartini menjadi pengingat kita sebagai perempuan, bahwa perjuangan kita belum selesai. Masyarakat harus terus dijejali edukasi, yang di mana isu keperawanan tidak bisa menjadi alat ukur moralitas seorang perempuan, selaput dara tidak bisa menjamin kesucian seseorang, juga tubuh perempuan bukanlah milik publik. Perlu ditekankan lagi, bahwa kita memiliki hak penuh atas tubuh kita sendiri.
Penulis: Reisya Amelia Rufianto
Prodi: Ilmu Komunikasi (2023)