Perlawanan menjadi satu langkah menuju kemenangan. Namun, kemenangan sesungguhnya adalah ketika tidak ada lagi perlawanan. Apa yang dilawan ketika misoginisme, stereotip gender, dan ketimpangan kekuasaan semu tidak lagi ada? Siapa yang dilawan ketika sudah menang?
Pagi buta dan ibu merapikan rumah yang tidak hanya ditempati oleh dirinya seorang, kemudian menyendokkan nasi untuk sarapan pagi yang bahkan tak jarang melewatkan piringnya. Pikulan peran gender yang menjadi santapannya tiap hari. Masih pagi yang sama, perempuan berangkat untuk mati-matian mempertahankan karirnya bertarung dengan sempitnya kesempatan, padahal nilai rupiah tidak mungkin berlaku beda hanya karena ia perempuan. Sorenya, di jantung negeri seorang ibu lain dengan harapan tegak membela dan memohon untuk hal yang seharusnya menjadi milik sang anak. Tiap minggu, penuh letih ia berdiri di sana, nasi putih pun tak sanggup ditelan kala sampainya di rumah.
Bahkan belum selesai disebutkan tentang kawan puan lain yang tangannya berjarak terlalu jauh dengan leluasa yang tak dipunya semua untuk meraih haknya. Rasanya perjuangan yang diupayakan pun akan jauh melampau besar dibandingkan kami.
Desakan ini dan itu, ayunan kaki dari sini ke situ, semua dilakukan perempuan sambil tetap menggenggam perlawanan serta perjuangan untuk hal yang enggan diberikan masyarakat. Perjuangan yang dianggap ancaman. Padahal seumur matahari bersinar, lawan kami hanya berujung mendapat benci, sedangkan kami hidup beriringan dengan sebenar-benarnya ancaman yang bisa merampas hidup kami di sela detik yang lengah. Beban yang tidak ringan di pundak dan ekspektasi menjadi Kartini modern di pundak satunya.
Masyarakat terlalu kuno untuk pantas mendapatkan Kartini modernnya. Ruang yang mereka berikan tidak pernah diperluas, suara kami yang didengar layaknya Nina Bobo—nyanyian pengantar tidur hingga lelap tanpa tergerak. Memangnya siapa masyarakat yang meminta Kartini modern itu? Masyarakat yang sama dengan yang meneriakkan “Hidup perempuan yang melawan!” hingga nyata telinganya mendengar teriakan gusar dari perempuan yang kesetaraannya dicurangi. Beramai-ramai meneriakkan “Hidup perempuan yang melawan!” kemudian memalingkan wajahnya ketika nyata matanya menyaksikan perempuan yang otonomi tubuhnya dijarah.
Kami tahu sekali bahwa digemakannya seruan itu untuk melihat kami, untuk menyadari perjuangan kami dan apa yang kami perjuangkan. Kami paham benar. Namun, rasanya, munafiknya itu yang menghitamkan rangkulan yang hadir dari ketulusan nadi. Rasanya seperti menerima sorakan untuk terus berlari di aspal panas penuh kerikil dan mengharapkan kami menang. Selaraskanlah lidah dan langkahmu itu, supaya sejuk tetap kami berada dalam dekapan.
Lagi pula, mengapa terburu-buru menginginkan perjuangan modern ketika “Kartini modern” masih bersusah payah memerjuangkan hal yang sama dengan sang Kartini? Bukankah sebuah ironi melihat perempuan modern masih harus mengemis hak yang sama dengan perempuan pra-kemerdekaan? Rasanya seperti perempuan tidak berhak atas kemerdekaan yang tiap tahun dirayakan sebesar-besarnya, seramai-ramainya.
Barangkali di antara kalian ada yang tak terima, lantangkanlah di depan perempuan yang tiap langkahnya dicegat hanya karena ia perempuan. Bisikkanlah di sebelah telinga perempuan yang kakinya dihalangi untuk menaiki tingginya tangga pendidikan, hanya karena ia perempuan. Tempatnya di dapur—mereka bilang. Tampakkanlah kepada sepasang mata perempuan yang tiap waktu hanya menyaksikan langit kuasa yang hampir tak pernah condong ke sisinya, hanya karena ia perempuan. Lakukanlah! Lalu berdiri di sebelahku dan lihat kernyitan dahi penuh rasa tak terima pada wajah mereka, kemudian ‘kan kutanyakan lagi padamu soal pertentanganmu semula.
Relakanlah sepetak lapangan bagi kami, perempuan yang ingin unjuk kebolehannya. Relakanlah sebotol tinta bagi kami, perempuan yang ingin menggoreskan garis pengetahuannya. Relakanlah megahnya panggung bagi kami, perempuan yang ingin menyanyikan dan meneriakkan perlawanan. Relakanlah ruang dan kesempatan yang sama dengan yang kalian dapat karena kami sama pantasnya. Relakanlah semua yang bukan milik satu kelompok semata.
Kemenangan itu ketika perempuan bebas berekspresi tanpa harus memberi makan tuntutan masyarakat. Kita menang ketika perempuan dapat tersenyum manis dengan kebaya dan rok tutunya tanpa tuntutan sikap lemah lembut siap manut. Kita menang ketika ego satu kelompok gender tak lagi bergandeng tangan dengan ketimpangan kekuasaan fiktifnya itu. Maka kita menang ketika kami—perempuan—tidak perlu lagi melawan.
Kemenangan adalah milik seluruh. Lantas, bukan cuma satu atau sepuluh Kartini modern yang dibutuh, tapi seluruh masyarakat yang utuh. Dengar kami, lihat kami, dan menang bersama kami.
Penulis: Nasywa Putri Agda
Program Studi Psikologi angkatan (2024)