
Masa Orde Baru, di mana Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) memiliki peran ganda, baik di sektor pertahanan maupun politik, menyimpan sejarah kelam. Pada masa itu, tentara kerap menggunakan kekerasan untuk mengintimidasi masyarakat. Kekerasan yang terjadi, seperti pada Peristiwa Tanjung Priok (1984) dan Peristiwa Talangsari (1989), sudah cukup untuk menggambarkan betapa bahayanya apabila angkatan bersenjata diberi akses untuk menempati posisi atau jabatan tertentu di instansi nonmiliter alias ranah masyarakat sipil.
Terkait dengan berita yang baru-baru ini hangat diperbincangkan, yakni DPR yang baru saja mengesahkan RUU TNI menjadi UU pada Kamis, 20 Maret 2025, hal ini tentu menimbulkan keresahan dan kemarahan dari masyarakat sipil. TNI, yang seharusnya hanya berfokus pada sektor pertahanan dan keamanan, kini memiliki akses serta wewenang untuk ikut terlibat dalam politik. Hal ini dikhawatirkan akan membuka jalan bagi angkatan bersenjata untuk mendominasi kedudukan di ranah sipil. Kekhawatiran lainnya adalah melemahnya profesionalitas TNI, yang berarti TNI tidak lagi fokus pada fungsi utama dan tugas pokoknya sebagai alat negara di bidang pertahanan.
Belum lagi cara kerja tentara yang bersifat hierarkis, di mana perintah atasan bersifat mutlak dan harus dipatuhi oleh bawahannya tanpa ruang untuk berdebat dan bertukar pikiran. Bayangkan jika hal itu terjadi, bagaimana jadinya demokrasi di negara ini? Bagaimana nasib kebebasan warga negara dalam mengekspresikan pendapatnya apabila dibatasi dan diancam oleh angkatan bersenjata? Tentu akan sulit bagi masyarakat untuk memberikan kritik terhadap kebijakan pemerintah karena takut diintimidasi dengan kekerasan.
Pengesahan RUU TNI ini tentu saja harus kita tolak. TNI memiliki tugas untuk menjaga pertahanan dan keamanan, bukan ikut berpartisipasi dalam ranah politik—apalagi sampai mengancam menggunakan kekerasan terhadap masyarakat yang menyuarakan pendapatnya. Kebebasan berekspresi harus tetap ada di negara ini. Ia merupakan hak fundamental setiap individu. Proses diskusi, debat, dan bertukar pikiran yang terjadi di masyarakat merupakan tanda bahwa demokrasi itu hidup.